Dana
mengangguk, “Kayaknya gitu.”
GUE
BENERAN NYASAR KAYAK YANG GUE PREDIKSIIN KAN!!! MANA HAPE GAK ADA SINYAL! JAM
MAKAN SIANG UDAH MAU SELESAI! FITA UDAH MAU KULIAH LAGI! AAAAAKKKK!!! Asli, gue
panik.
“Tanya
orang aja gimana?” gue ngasih ide di tengah keputus asaan.
“Nanyanya
gimana coba?”
“Ummm…”
Gue coba menyusun kata. “Gini aja, “Permisi, jalan menuju Samarinda yang ada
jembatan Mahakamnya di mana, ya?””
“Sumpah,
itu bego banget.”
“Ya
mau gimana lagi, coba? Kita nyasar!” gue bener-bener gak ada ide lain.
“Putar
balik deh,” Dana menunjuk arah belakang. “Tadi kayaknya kita ngelewatin
pertigaan, mungkin ke arah situ.”
Karena
terlalu fokus dengan sugesti “lurus aja”, gue jadi gak merhatiin kalo ada
pertigaan. Gue putar balik. 10 menit kemudian kita sampai di jalanan-yang-ada-pertigaannya yang
dimaksud oleh Dana. “Itu ada mamah-mamah muda, coba tanyain deh, bener gak itu
jalan menuju Samarinda yang ada jembatan mahakamnya?”
“GAK
ADA KALIMAT LAIN APA?!”
Dana
pun turun dari motor, nyamperin seorang mama-mama muda yang lagi beli es tebu
di pinggir jalan. “Permisi, Bu…” sapa Dana sok asik.
“Maaf,
Mas..” Si Ibu menyodorkan tangan tanda penolakan.
“Saya
mau numpang Tanya, Bu.”
“Oh,
saya pikir tukang minta-minta.”
“….”
“Mau
nanya apa, Mas?”
“Anu…
Permisi, Bu… kalo jalan menuju Samarinda yang ada jembatan Mahakamnya di mana,
ya?”
Hening.
“Belok
kiri, Mas, habis itu lurus aja, ketemu deh jembatan Mahakam.”
“Oh
begitu. Terima kasih banyak, Bu!”
Dana
mendatangi gue dengan tatapan Tuh-Kan-Bener-Belok-kiri.
Setelah dapet informasi ini, dengan semangat 69 gue geber lagi si Fixie hingga
bertemu beneran dengan jembatan sungai Mahakam. Pemandangan yang gue lihat
kayak gak berubah dengan 9 tahun yang lalu. Satu yang beda, air sungai Mahakam
semakin coklat.
Kami
akhirnya sampai di wilayah perkotaan Samarinda pukul 12.45 dan masih belum tau
harus ke mana. Ke kanan? Ke kiri? Ke pelukan mantan? kita bener-bener gak tau
arah.
“Istirahat
dulu di Islamic center, yuk. Sekalian aku coba hubungi temenku, siapa tau bisa
bantu nemuin kampusnya Fita.” Ajak Dana. Tanpa jawaban gue ikuti arah jalan
menuju Islamic center yang udah keliatan dari jembatan Mahakam tadi.
Sampai
di parkiran Islamic center, gue cek hape dan segera stalking mantan,
sudah pukul 1 kurang sedikit. Harapan untuk makan siang bareng pacar sirna
sudah. Tapi gue inget satu hal: bisa aja dosennya gak masuk! Untungnya hape
kita berdua sudah ada sinyal. Gue segera mengaktifkan paket data, mengirim
sebuah chat ke pacar, “Udah makan?”
“Udah
tadi.” Balasnya singkat.
“Udah
mau kuliah lagi, ya? Ada dosen?”
“Belum
tau nih. Kalo pun gak ada dosen pasti dikasih tugas juga :(”
Harapan
buat makan siang bareng pacar, bener-bener sirna. Gue mulai ngerasa perjalanan
ini percuma. Gak cuma capek di badan yang nyetir hampir 3 jam, tapi juga hati.
“Eh,
kampusnya Fita itu yang di mana? Ada temenku yang mau bantu ngasih petunjuk
jalan nih!” Ucap Dana penuh semangat.
“Jalan
Flores.” Balas gue tanpa semangat. “Balai pusat bahasa kalo gak tau.”
Gue
putar punggung ke kanan dan kiri bergantian, lalu mengambil air mineral dari
tas gue dan meminumnya. Dana masih sibuk menunggu balasan chat dari temannya.
“Ternyata
dekat aja dari sini, Nyet! Keluar dari Islamic center, lurus aja, ntar ketemu
pasar pagi, lurus sampai ketemu jembatan, belok kanan, lurus lagi ntar ada
petunjuk arah menuju Samarinda Central Plaza. Ikutin aja.” Ujar Dana setengah
berteriak.
“Kita
nyari kampusnya Fita, Nyet. Bukan mall.”
“Ancer-ancernya
mall itu. Kampusnya deket mall, nyet!”
“Uhh…
tapi ini udah jam 1, dia udah masuk kelas lagi.”
“Udahlah,
kita cari kampusnya dulu, kita tungguin dia selesai kuliah.”
Tanpa
banyak omong, gue pasang kembali slayer dan helm gue. Dana mengikuti di
belakang gue dan segera naik ke motor. Sesuai petunjuk jalan dari temennya
Dana, kita sampai di ‘arah menuju Samarinda Central Plaza’.
Kita
kembali dalam keadaan jalan tak tau arah. Ikuti jalan lurus sampai gue encok.
“Coba Tanya orang lagi, Nyet.”
Dana
segera turun dan bertanya ke seorang cewek, beruntung kali ini gak disangka
tukang minta-minta lagi. Gue nunggu di atas motor, di pinggir jalan. Beberapa
menit kemudian Dana datang menghampiri gue, “Katanya kelewatan, di sono noh
deket Hotel Aston!” tunjuk Dana ke jalan yang kita lewati tadi.
“Puter
balik nih jadi?” Tanya gue.
“Kayaknya
sih gitu.”
Gue
putar balik dan mencari persimpangan jalan menuju Hotel Aston yang sekilas gue
liat tadi. Gue geber si Fixie dengan kecepatan sedang. Baru aja mulai gue udah mengalami kejadian tak mengenakkan.
“TIIIIIINNNNN!!!!”
Suara klakson mobil dari arah berlawanan masuk ke jalur gue. Gue segera
menghindar ke pinggir jalan.
“WAH
BRUTAL NIH ORANG SAMARINDA. UDAH KELUAR JALUR MALAH KLAKSONIN ORANG!!!” Gue ngedumel.
“TIIIIIIIIINNNN!!!!”
Suara klakson lainnya kembali terdengar
menuju arah gue.
Gue
gak mau kalah, gue klaksonin balik bonus sumpah serapah kebun binatang, “WOI
BEGO! TAPIR! ANOA! BEKANTAN!!!”
Gue bener-bener kesel kalo ada orang
yang melanggar lalu lintas tapi malah ngerasa bener. Pasti SIM-nya hasil
nembak! Pasti! “Kamu diem aja? Gak ikutan bego-begoin orang tadi?” Tanya gue ke
Dana yang diam seribu bahasa.
“Nyet,
kayaknya ini… jalur satu arah, deh.” Ucap Dana pelan.
Mendengar
ucapan Dana gue reflek berenti di pinggir jalan, menoleh ke arah belakang, gak
ada motor atau pun mobil di belakang kita berdua. Gue bener-bener ngerasa laki
abis udah lawan arah, ngelaksonin, sumpah serapahin pula.
Gue
segera putar balik lagi dan berusaha mencari jalan menuju hotel Aston. Setetelah
muter-muter tanpa arah akhirnya kita malah nemuin Samarinda Central Plaza
(SCP), imajinasi yang tadinya makan siang sama pacar, realitanya malah jadi
makan siang sama Dana. Kita berdua masuk ke McDonalds untuk… ya makan, lah! Masa
main kuda lumping. Karena udah pasti gagal makan siang bareng pacar, kampusnya juga belum ketemu-ketemu. Gue segera chat si pacar, “Aku di SCP loh…”
Baru
aja meletakkan hape di meja, hape gue bergetar hebat, ada chat masuk,
“SERIUS
LAGI DI SAMARINDA?”
“NGAPAIN???”
“SINI
SINI KE KAMPUS AKU…”
Tiga
chat bertubi-tubi masuk ke hape gue. Gue balas dengan chat bertubi-tubi juga.
Gak mau kalah dong!
“Iya,
lagi di samarinda nih. Mau mancing di sungai Mahakam! Ya mau ketemu kamu lah :3”
“Bentar
ya, aku masih nyari kampusmu, makan siang dulu.”
“Gak
ada dosen?”
Belum
sempat tarik nafas, balasan chat sudah muncul lagi,
“Ih
kamu kenapa gak bilang-bilang sih kalo mau ke sini :(“
“Ada
dosen :(“
Dia
pun kirimin foto peta tempat gue berada dengan kampusnya.
“Jam
2an deh aku ke kampusmu, ya! Kamu selesai kuliah jam 3 ya?”
Dia
mengiyakan dan gue melanjutkan makan gue. Pukul dua lewat lima belas menit gue
dan Dana meninggalkan SCP dan bersiap menuju kampusnya Fita. Samarinda bener-bener
gak bersahabat buat gue. Baru aja keluar dari parkiran tiba-tiba hujan deres
banget. Untungnya jarak SCP-kampusnya Fita itu lumayan dekat. Kami masuk ke
parkiran kampus dan berteduh di pinggir gedung kelas. 45 menit gue kedinginan
dan cuma ada Dana di sebelah gue.
“Dingin,
ya?” Kata Dana.
Gue
menoleh ke arahnya, dia juga noleh ke arah gue. Awkward.
Pukul
tiga kurang 10 menit hujan berhenti, gue dan Dana jalan kaki mengitari daerah
sekitaran kampus. Kita nemuin warung yang menyediakan makanan chinese, epic-nya di depan warung ada peringatan,
“Mengandung Babi!”
“Beli
minum, yuk.” Ajak Dana.
“Di
situ?” gue menunjuk warung chinese tadi. “Kamu gak baca tulisannya, apa?
Mengandung babi! BA-BI!”
“Aku
mau beli air mineral, Nyet.”
“Siapa
tau air mineralnya mengandung babi juga?”
“Uwh,
bener juga.” Dana gak jadi beli minum. Dia mengadahkan kepalanya ke atas,
membuka mulut, minum air hujan yang masih menetes sedikit. Kelakuan Dana lebih epic daripada tulisan mengandung babi di
sebuah warung.
Kita
kembali ke area kampus dan dari jauh, gue melihat seorang cewek setengah berlari
di sekitaran parkiran seperti sedang mencari sesuatu dengan handphone di
telinganya. Gue tau sosok itu. Fita! Dengan baju lengan panjang berwarna
abu-abu dan celana skinny jeans lengkap dengan kacamatanya. Gue melambaikan
tangan mencari perhatiannya dan dia melihat gue. Dia setengah berlari menuju
gue, rambutnya yang lurus tertiup angin, mirip iklan shampoo.
Kami
pun bertemu. Dari yang berjarak lebih dari 100 kilometer kini jarak kami hanya
5 cm. Dia tersenyum, pipinya mulai memerah. Gue raih tangan dia. Gue genggam
erat. Gue udah kayak anak kecil yang baru dapat mainan baru. Digenggam erat dan
gak akan dibiarkan lepas.
Dia
masih tetap sama seperti Fita yang gue temui 3 minggu lalu. Fita yang masih
malu-malu menatap orang yang dia suka, dia lebih banyak menunduk sambil
membenarkan rambut di sekitar telinganya. Atau sok-sok membetulkan letak kaca
matanya. Hening, gak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami berdua. Hanya
senyum malu-malu dari kami berdua.
“Kenalin,”
Dana menyodorkan tangannya. “Dana, temennya Yoga dari TK.” Si kampret ini
merusak moment romantis aja… Fita balas menyalami tangan Dana. Dia segera
memanggil temen-temennya untuk dikenalin ke gue.
Temennya
Fita ternyata banyak banget. Ini bahaya kalo misalnya gue berantem sama dia.
Karena berantem sama satu cewek, artinya kita jadi musuh teman-temannya juga.
“Mau
ke mana?” Tanya gue.
“Uhhh…
aku bingung, kamu dadakan sih.” Jawab fita sambil berusaha berpikir mau bawa
pacar dan temen kampretnya ini ke mana. “Di daerah sini cuma ada SCP.”
Gue
menatap Dana, dia tau maksud gue apa. “Sembarang, aku ngikut aja.” Kata Dana.
Kita
ke SCP (lagi).
Sampai
di SCP kita ke McDonalds (lagi), kita ngobrol-ngobrol sampai pukul setengah
lima dan mutusin buat cari tempat lain. Emang dasarnya dia lebih sering latihan
biola ketimbang nongkrong-nongkrong hedon dan jadi budak kapitalisme, dia jadi
kebingungan mau bawa gue dan Dana ke mana. Dia mengajak gue ke sebuah café
namanya café puncak, sampai di sana… cafenya belum buka.
Dia
putar otak dan membawa gue ke sebuah café bernama coffee time, “Terakhir aku ke
situ sih pas pergantian tahun baru ke tahun 2014, waktu itu aku main biola di
sana.”
Lima
belas menit kemudian kita bertiga sampai di sana dan… cafenya ternyata udah
tinggal nama. Kami berhenti di dekat alfamart sebelah jembatan Mahakam. Jam
udah menujukkan pukul 6 lewat, gue terjebak dalam situasi sulit. Harus pulang
ke Balikpapan hari ini juga atau nyari penginapan buat bermalam di Samarinda.
“Jam
8 malam aku ada rapat organisasi.” Kata Fita.
Jadi,
di fakultasnya dia terdapat bermacam-macam ‘ekskul’. Ada biola, paduan suara,
akustik, tari dan lain-lain. Semua ‘ekskul’ itu ingin dilebur dalam satu wadah
dengan nama baru. Dia rapat pukul 8 sampai 10 malam, misalnya gue nginap di
sana juga percuma kan? Gak bisa jalan sama dia. Misalnya jalan di atas pukul 10
malam, selain bahaya, kostnya dia juga nerapin aturan gak boleh pulang malam.
Gue
dilema. Di satu sisi gue masih pengin jalan sama dia, di satu sisi keadaanya
gak memungkinkan.
Gue
kembali menatap Dana, “Sembarang aja, kalo nginap ya ayok, kalo pulang ya
ayok.” Jawabnya.
Langit
mulai gelap, butiran air perlahan turun lagi dari langit. Gerimis. Gue makin
dilema! Pulang, nginap, pulang, nginap?
“Kamu
rapat, ya?” bisik gue ke Fita yang duduk nyender di sebelah kanan gue.
Dia
cuma tersenyum. Manis, sekaligus pahit. Gue gak mau maksain dia untuk gak
melaksanakan kewajibannya demi gue. Tiap orang punya skala prioritasnya
masing-masing, kan?
“Kita
pulang aja deh kayaknya?” gue genggam erat tangan kirinya, tangan kiri gue mainin
ujung rambutnya yang lurus. Dia diem aja, mungkin bingung harus apa karena gue
datangnya juga dadakan.
“Jaga
diri, ya.” gue cium punggung tangannya dan perlahan melepaskannya, “Sampai
ketemu lagi…”
“Uwh…
iya, kamu juga hati-hati di jalan.”
Gue
cuma tersenyum dan segera menuju motor gue, Dana mengikuti dari belakang tanpa
komentar. Biarpun cuma ketemu sebentar, gue sudah senang. Gue bersyukur masih
bisa bertemu sebentar walau akhirnya gue dan Fita akan kembali terpisahkan oleh
jarak.
Gue
pun meninggalkan Samarinda. Dibawah gerimis yang mulai deras, ada sedikit rindu
yang akhirnya terbalas.
12 comments
Yaah ending nya gak seru, kirain bakal mojok berdua sama dana :(
Replycfae puncak, coffe time, itu emang tempat2 mainstrem yog wkwkwk. knapa gak nanya gue loo wkwkwkwk
Replybuset dah bang,, kalo buku pertamamu isinya cuma buat ketawa ketawa an doong,, kye nya buku keduamu isinya roman roman deh,, :D :X ditunggu cetakan buku keduanya..
Replyand yaapp.. semoga jodoh ya.. :p
Baru gue bilang kenapa gak nanya si Iksan aja, eeh orangnya udah komen. Hahaha. :))
ReplyMakin suka gue sama blog ini yog. Hahaha. Sayang nih yang komen dikit. :(
bwuahahaha udah mulai ngepost tentang romantika kehidupan ya, gue jadiin status ya kata2 yang ini "Dibawah gerimis yang mulai deras, ada sedikit rindu yang akhirnya terbalas."
Replytapi mohon pastisipasinya ya...
obat kanker pankreas stadium 3
muahaha iya, jarang ngepost soal beginian sebenernya. Iya, silakan aja dipake kalimatnya :))
Replyiksan gue chat hari selasa, dibalasnya hari minggu. kampret memang...
Replykurang blogwalking nih makanya sepi komen :')
Ehe. semoga bisa bikin buku kedua ya :')
Replydan aamiin, semoga jodoh :p
ELO GUE CHAT HARI SELASA BALASNYA HARI MINGGU, BANGKE. MEH!
ReplyKOMEN MACAM APA INI?!
ReplyYou treat her likes princess. So envy. what a cutie man bgt sih lu ka yogaaa.
Replyehe :">
ReplyPost a Comment
Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca postingan gue. Gak perlu ninggalin link blog untuk dapet feedback, karena dari komentar kalian pasti dapet feedback yang sepadan kok.
Terima kasih!