Tanggal
11 Agustus pun tiba. Pukul 9 pagi gue bersama para anggota sensus berkumpul
untuk membawa persediaan selama bekerja; papan scanner, form pendataan, stiker untuk ditempel di depan rumah
sebagai bukti rumah tersebut sudah di data dan granat untuk memusnahkan PTH.
Oke, yang terakhir gak ada.
Jujur,
gue deg-degan pas sampai di komplek perumahan yang menjadi jatah gue untuk
disensus. Dengan langkah ragu gue bersama rekan gue, Novia, mendatangi rumah
pertama.
Gue
inget tugas utama gue: Tinggal datang ke rumah orang, dikawal sekuriti, nyatat
data diri pemilik rumah, selesai.
Tapi
begitu lihat kenyataannya: Datang ke rumah orang berdua, gak ada sekuriti yang
kawal, bingung harus mendata bagaimana, pura-pura gila.
Bagaimana
hati ini tak ragu?
Tapi,
kalo gue diam aja kerjaan ini gak bakal kelar. Gue mencoba meyakinkan diri dan berjalan
ke salah satu rumah, membuka pagarnya dan mulai mengetuk pintunya, “Permisi,
selamat pagi!” sapa gue.
Gak
ada jawaban. Gue ulangi.
“Permisi,
selamat pagi!”
Gak
ada jawaban lagi.
“Selamat
pagi!”
Gak
ada jawaban. Gue pergi. Nangis nasi.
Iya, gue berprinsip ketika tiga kali
mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, gue memutuskan untuk pergi. Setelah
selesai nangis selama 15 menit, gue mendatangi rumah sebelahnya. Jika di rumah
sebelumnya gue langsung mengetuk pintunya, kali ini gue mencoba metode yang
berbeda. Gue coba mengelilingi rumahnya dahulu dengan menaruh tangan gue di
daun telinga, memastikan ada suara dalam rumah. Jika ada suara baru gue ketuk
pintunya. Gue gak mau suara gue sia-sia terbuang. Saat mengelilingi rumahnya
itu, terdengar suara TV dari dalam rumah, senyum gue mengembang sempurna,
semangat hidup gue kembali. Sudah mirip saat diputusin pacar tau-tau doi ngajak
balikan lagi. SEMANGAT GUE KEMBALI!!!
Dengan cepat pintu pun gue ketuk.
“Permisi,
selamat pagi!”
Gue
tunggu 10 detik, gak ada jawaban. “Mungkin orangnya di dapur, coba agak kenceng
ngomongnya,” Novia memberi saran, gue setuju.
“Permisi,
selamat pagi!” suara gue tinggikan menjadi 20 desibel.
Jari-jari
tangan gue menghitung sampai 10, tidak ada jawaban lagi. “Ke sebelah, yok. Gak
denger nih orangnya.” Gue mulai kzl, eh kesel.
“Coba
aku yang ngetuk,” Novia mengetuk pelan. “Permisi, selamat pagi!”
Gue
hanya menatap dengan pandangan meremehkan karena yakin hasilnya akan sama aja.
3 detik kemudian,
CEKLEEEEK.
PINTUNYA
TERBUKA! SYIIIITTT!!! PAS GUE YANG MANGGIL KENAPA GAK DIBUKAIN?! GILIRAN CEWEK
BARU DIBUKAIN! INI DISKRIMINASI! INI KONSPIRASI! KZL!
“Iya,
ada perlu apa ya?” suara ibu-ibu menyambut kami berdua dari celah pintu yang
dibuka sedikit. Sepertinya ia takut jika menerima tamu orang asing seperti
kami.
Gue
pun menjelaskan maksud kedatangan kami sebagai utusan p*ertamina, “Kami dari…”
“Maaf…
Tapi di sini gak nerima sumbangan.”
JLEB!
GUE DITUDUH MINTA SUMBANGAN! *nangis nasi part 2*
“Oh,
bukan, bu! Kami dari tim sensus RDP P*ertamina…” Novia segera mengambil alih
peran gue. Gue masih nangis.
“RDP?
Apa itu?” tanya si ibu pemilik rumah.
“Rumah
Dinas Perusahaan, Ibu…”
“OH!
YANG DATA RUMAH ITU, YA?” Suara si ibu mulai meninggi seiring terbuka lebarnya
pintu rumahnya. “Ayo, ayo masuk sini…”
Gue
bersyukur, si ibu sudah tau kalo bakal kedatangan tim sensus. Kami berdua pun
masuk ke dalam rumah.
“Duduk,
mbak…” Si ibu mempersilakan Novia duduk, kemudian menatap gue. “Om-nya, duduk.”
OM?!!
OOOOM?!! Ibu-ibu ini pandai sekali menyiksa batin gue. Gak bukain pintu,
nyangka gue minta sumbangan dan kini manggil gue pake ‘om’?! Umur 20 tahun
begini dipanggil om, masa?
Gue
mendadak emosi, setan di otak gue segera merancang balasan yang pantas untuk si
ibu:
A.
Culik dan sandera.
B.
Pasung.
C.
Combo paket A dan B.
Untungnya
malaikat di otak gue lebih kuat, dia segera menyadarkan gue, “Gak ada untungnya
nyulik ibu-ibu, yang ada suaminya malah berterima kasih dan segera kawin lagi.”
10
menit kemudian pendataan selesai. Iya, pendataan hanya mencakup tentang data
diri pemilik rumah (Nama, nomor pekerja, fungsi/bagian, nomor hape, makanan
dan minuman favorit), kemudian pencatatan nomor asset, jumlah lampu di
seluruh ruangan, MCB listrik, dan peralatan elektronik. Selesai.
Ketika
akan pergi, gue sempet nanya-nanya soal rumah-rumah yang ada di sebelahnya, ada
orangnya apa tidak? Si ibu tadi memberi informasi yang benar-benar penting, “Rata-rata
yang tinggal di sini itu baru ada orangnya sore, sekitar jam 5-an. Kan baru
pulang kerja,”
Gue
dan Novia bengong. Kalo begini ceritanya, pendataan ini bisa aja makan waktu
seharian. “Tapi, bu, pasti ada aja kan istrinya atau pembantunya gitu di rumah?
Kayak ibu gini?” tanya gue.
“KAMU
NGIRA SAYA PEMBANTU?”
“Bu-bukan,
Bu.”
“Di
daerah sini pada gak mau bukain pintu untuk orang yang gak dikenal soalnya
takut, banyak maling,” Si ibu menatap gue. “Dan minta sumbangan.”
Gue
mulai mencari benda tumpul untuk dipukulkan ke si ibu ini.
“Tapi,
di daerah sini emang banyak maling, mbak, om. Rumah saya aja ini lebaran ketiga
kemaren dibobol maling. Padahal kami sekeluarga pergi gak sampai 2 jam.”
Si
ibu malah curhat, gue jadi iba dan gak jadi mencari benda tumpul untuk
dipukulkan. Beliau sudah menderita masa gue kasih penderitaan lainnya. Hati
kecil gue tergerak untuk bertanya, “Yang diambil apa aja, Bu?”
“Oh,
banyak, om!” Nada suara si ibu meninggi, seperti ada rasa kzl, eh kesal yang
membuncah ke luar. “Uang, perhiasan, kue 3 toples, minuman kaleng 2. Pokoknya
banyak yang diambil, om. Maling kurang ajar! HIH!”
Gue
diem.
“Oh,
iya. Di surat edarannya bilang didampingi sama sekuriti? Mana?”
“Nah,
itu dia, bu! Kita gak ketemu sama sekuritinya, mungkin dia tersesat dan tak tau
arah jalan pulang.” jawab gue.
Si
ibu segera masuk rumah dan menutup pintunya dengan pandangan aneh. Mungkin
trauma dimalingin karena gak ada sekuriti di sekitar situ.
*****
3
Hari kemudian gue selesai mendata di daerah perumahan itu dan siap untuk
berpindah lokasi perumahan. Selama 3 hari itu gue gak nemu permasalahan
berarti. Hanya masalah tidak ada orangnya di rumah, jika bertemu masalah
seperti ini sore harinya gue kembali lagi atau meninggalkan note yang ditempelkan di depan pintu
untuk menghubungi kami jika sudah ada di rumah.
Bener-bener
bebas masalah.
Beberapa
kali gue malah dikasih makan dan minuman kaleng karena masih ada sisa-sisa
sehabis lebaran. Gue beruntung, penghuni rumah yang gue datangi baik dan ramah semua.
Ketika ketemu PTH (Penghuni Tanpa Hak) dan dia nanya apa tujuan pendataannya,
gue cukup jenius dengan menjawab, “Untuk mengecek kondisi rumah.”
Si
PTH tadi tampak bahagia dan meminta dicatatkan jika rumahnya rusak dan berharap
direnovasi. Gue jadi merasa berdosa jika ingat tujuan utama pendataan perumahan
ini apa.
Nasib
lain berpihak pada temen gue dari kelompok lain, Lia dan Didit yang kebetulan
menyensus rumah dekat dengan jatah gue. Beberapa kali mereka mendatangi rumah
dan tidak diijinkan masuk, sekuriti pun tak tampak batang hidungnya.
“Permisi,
selamat siang…” Didit mengetuk pintu.
“Iyaaaa…
ada perlu apa?” Suara ibu-ibu menjawab ucapan Didit dari dalam rumah.
“Kami
dari tim sensus rumah dinas p*ertamin…”
“Nanti
sore aja datang lagi!”
Gue
yang menyaksikan sendiri kejadian ini segera menghibur dan menyemangati Didit, “Mungkin
kamu dikira minta sumbangan, Dit.” Kata gue, sengaja kalimat, “kayak gue tadi.”
Gak gue ucapkan. Gue gak setega itu membully diri sendiri.
Lia
dan Didit pergi menyensus rumah lainnya hingga akhirnya sore pun tiba. Mereka
kembali mendatangi rumah yang tadi,
“Permisi,
selamat sore…” Giliran Lia yang beraksi.
Gak
sampai menunggu Indonesia masuk piala dunia, pintu pun terbuka seperempat.
Tampak ibu-ibu bercadar mengintip. Dia menatap Lia dan mulai memperlebar bukaan
pintunya. Si ibu melihat Didit. Pintunya ditutup lagi. “Nanti malam aja datang
lagi!”
Didit:
“#@!$*&&%#!!!”
Gue:
“Kayaknya bukan karena disangka minta sumbangan, mukamu terlalu kriminil.”
Lia
dan Didit gak menyerah gitu aja untuk mendata rumah tersebut. Selain karena
alasan belum tentu orang di rumah itu besok ada, Didit juga butuh kejelasan
kenapa dia diperlakukan seperti itu.
Malam
harinya, mereka berdua mengetuk pintu rumahnya lagi. Kejadian tadi sore kembali
terulang: Pintu terbuka -> Ibu-ibu bercadar muncul dan melihat Lia ->
Pintu mulai terbuka lebar -> Si ibu bercadar melihat Didit -> Pintu
ditutup -> Didit berubah jadi Hulk.
Akhirnya
Didit menyerah dan membiarkan Lia pergi menyensus sendiri. Dari kejauhan ia
melihat Lia diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Didit berusaha menelan papan scanner-nya mentah-mentah.
15 menit
kemudian Lia kembali dan memberikan gossip terhangat: Si ibu tadi gak mau ada
lelaki lain masuk ke rumahnya selain mahramnya jika tak ada suaminya di rumah.
Gue
speechless. Gak nyangka bakal ada
hambatan macam itu di lapangan. Gue berharap di lokasi selanjutnya gue gak nemu
hambatan seperti yang ditemui Lia dan Didit.
TO BE CONTINUED…
14 comments
CErita lho nyesek banget brohhhhhhhh... kebayang gue waktu gue melakukan hal yang sama. :)
ReplyKunjungan Pertama Pangeran Wortel
Asik. Tulisan lo enteng banget, jelas dan juga enggak membingungkan. Gue jadi nikmat bacanya, tau-tau udah sampe akhir aja.
ReplySesuatu yang dapat gue petik dari sini, sih. Mungkin gaya hidup (enggak semua) orang yang tinggal di perumahan, mayoritas individual. Meskipun ada yang beralasan enggak mau menerima lelaki masuk rumah selain suaminya sendiri padahal di situ kan enggak berdua, kan ada ceweknya, jadi kan harusnya gapapa. Tapi ternyata memang manusia banyak macemnya..
Terus poin yang lain, susah juga ya jadi petugas sensus, apalagi kalo kayak kasusnya si didit. Hihi.. yaudah, moga dapet hikmah di balik ini, ya, OM! hahaha
Belum baca cerita sebelumnya, mungkin nanti mlipir sebentar ke sana ah hehehe. Kadang kenyataan emang ngga sesuai sama ekspektasi, ya, om. Jadi yaaa tetap berpegang teguh pada semangat membara ya. Oh untuk menghindari kejadian kaya gitu mungkin harus melakukan pengamatan ke setiap rumah yang mau dikunjungi, jadinya udah paham deh mereka kaya gimana heheheh.
ReplyUh... Perjuangan banget yak. Ternyata petugas sensus gak seenak yang dikira, dateng nulis pergi beres. Ada juga hambatan-hambatan yang sebenernya cukup absurd. Tapi untung masih ada temennya, coba kalau sendirian, siapa yang akan mecegah kita makan scanner kalau udah prustasi?
ReplyHhmm... Tapi Dali sempet salut ama Ibu yang gak ngebolehin cowok masuk pas ga ada suaminya, apalagi yang mukanya kriminil. Masih ada ajah Ibu keren di jaman sekarang.
yap, itulah. gak semudah yang gue bayangkan juga, apalagi nemu hambatan2 yang gak masuk akal kayak kasus Didit.
Replykalo masalah ibu2 itu sebenarnya gue agak gak setuju soalnya kan tim sensusnya ada 2 orang dan salah satunya perempuan, menurut etika sih seharusnya diperbolehkan aja,kecuali kedua tim sensusnya cowok, wajar si ibu gak bolehin masuk..
BACA CERITA SEBELUMNYA! :p
Replyiya, kenyataan gak sesuai ekspektasi mah ini namanya, dan bagaimana mau ngamatin kalo rumahnya tutupan semua :|
hoho makasih, Hud!
Replyiya, gue setuju sama elo soal ibu2 itu dan jangan panggil gue OM juga!
pernah juga? HAHA *toss*
ReplyKasian si Didit. :(
ReplyBang gimana caranya komen di blog ini?
ReplyOm Capung... aku mau es krim Om...
ReplyBentar, aku nggak ngerti tujuan pendataan itu untuk apa? Oke, aku emang belum baca yang pertama. Jangankan baca yang pertama. Udah bisa bewe ke sini juga udah syukur ya huehe. Btw aku nggak percaya kok umur Om masih 20 tahun sih?
Ngomongin soal si ibu-ibu itu, kayaknya setelah di lapangan emang banyak yang nggak terduga ya. Buktinya itu tadi. Sebenernya nggak kepikiran juga bakalan ada orang kayak gitu pas disensus. Eh tapi kenyataan emang beda. Di satu sisi lucu juga, tapi kasian ya liat temennya Om ditolak mulu :D
makanya baca yang pertama dulu huhu...
Replyiya, kadang hambatannya di luar prediksi :|
jenius.
ReplyPost a Comment
Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca postingan gue. Gak perlu ninggalin link blog untuk dapet feedback, karena dari komentar kalian pasti dapet feedback yang sepadan kok.
Terima kasih!